Minggu, 04 Oktober 2015

Aku Guratan Senja

Ini pagi pening mulai terasa, tumpukan batu tampak memenuhi kepala, penuh sesak tanpa ruang udara. Pun meletakkannya pada kasur empuk beberapa detik, tak kunjung reda. Batu dalam kepala terasa mengecil, ciut di sela-sela ruang yang tetsisa, tak mereda jua, tetap sama.

Dering telepon menggema, aku berlari meraihnya, di atas meja lima meter dari tempatku berbaring tanpa suara. Pukulan menghujani ubun-ubun tanpa ampun, aku tetap berlari, tentu saja untuk meraihnya, orang spesial hendak memberi kabar, aku senang tak terkira, hantaman itu tak kurasa, apa aku baik-baik saja? Tentu saja, pertanyaan macam apa itu?

Kau hanya semburat cahaya senja yang tertinggal, bukan ketika ia menampakkan keindahan seutuhnya. Kau bukan apa-apa.
Omong kosong apa yang kau bilang? Aku ini cahaya, meski hanya secuil.
Kau hanya sisa cahaya, ingat hanya sisa.
Ya,memang aku hanya semburat yang tak indah, tapi aku tetap aku, kau paham?
Tidak, kau keras kepala, kau harus tau dirimu.
Aku telah mengetahui diriku, tahu apa kau tentang aku?
Kamu pembual,
Apa kau bilang? Aku pembual?
Ya, kau pembual, kau bodoh
Aku memang semburat, tapi aku kuat
Kau bohong,
Tau apa kau tentangku?
Aku tahu kau, tau persis siapa kau.
Justru kau yang pembual.
Lihat percikan sisa-sisa senja itu, ia hanya sisa, ya hanya sisa dan kau tak menangkap satu pun estetika darinya.
Guratan itu memang tak sempurna, ia terpecah menjadi gumpalan-gumpalan kecil yang tak rata, terpisah oleh awan yang mulai gelap. lihatlah, apa kau tak melihat keindahan di sana?
Tidak.
Tentu saja guratan senja yang tak menyatu itu justru menjadikan langit tampak semu, di antara dua waktu.
Terang dan gelap, ya aku guratan senja yang mengawali dan mengakhiri keduanya.
Kau masih tak percaya?
Diam, hanya diam tanpa suara.