Rabu, 12 Februari 2020

AKU DAN SISA HUJAN KEMARIN (Bagian 2)

Kabut dari Kota Tua (2)

Namanya Jamal Rasyid, memiliki arti tampan dan maha pandai. Doa yang tersemat di dalam namanya benar-benar menjadi kenyataan. Kelebihan mas Rasyid selain pintar dan tampan adalah karena kesabaran dan kelembutannya kepada ke siapa pun yang dijumpainya, termasuk mereka yang usianya lebih muda darinya. Tak heran banyak tetangga yang begitu mengidamkan menantu seperti mas Rasyid. 

Beberapa menit berselang kudengar suara motor mas Rasyid berhenti di depan rumah. 

"Assalamualaikum" suara ramahnya terdengar oleh kami.

"Ke kecamatan, nak Rasyid?" tanya akung

"Nggih, bah... kebetulan ada perlu dengan kawan" jawabnya.

"Nitip putuku iki ya"  kata akung sambil menepuk pundak mas Rasyid.

"Nggih, abah."

Mas Rasyid mempersilakanku untuk naik, aku memindah daypack-ku untuk kupakai di depan. tak lucu kan kalau sampai di turunan nanti badanku tiba-tiba melorot ke bawah. Ketika hendak naik motor tiba-tiba ponselku berdering.

"Ada telepon" kulihat pada layar ponselku ternyata panggilan dari Maharini, kawan sekamarku.

"Aku angkat sebentar ya, mas".

***
"Kenapa, nduk? kok bingung gitu?" tanya emak heran melihat ekspresiku berubah selepas menerima panggilan.

"Mas Rasyid, maaf ya..aku tak jadi nebeng ke terminal"

"Lha, kenapa?" tanya emak, akung, dan mas Rasyid bersamaan.

"Kampus kena banjir, di kota pun demikian, akses transportasi macet total karena air setinggi perut"

Hujan kemarin turun seharian tak berjeda, beberapa saat juga sempat diterpa angin puting beliung. Banyak bangunan roboh, kampusku pun diterjang banjir. Setiap tahunnya daerah dekat kampusku memang langganan banjir, butuh waktu sekitar dua hari untuk menjadikan genangan air benar-benar hilang.

Meski terkejut akan kabar tersebut aku bisa melihat ada rasa kecewa pada raut wajah mas Rasyid, tapi hanya sebentar, tiba-tiba senyumnya mengembang sembari menatapku sekilas.

"Hujan semalam membuat pusat kota seperti akuarium. " pungkasnya

"Iya, tahun lalu juga begitu, tapi tidak separah tahun ini" sahutku

"Itu tandanya kamu disuruh tinggal lebih lama di sini, menemani mbah kholifah dan Abah. Main tiga hari saja mah masih kurang. hehe"

Wajahnya yang tadi tampak kecewa sekarang benar-benar menjadi sumringah. Ia pamit kepada kami lalu perlahan menghilang bersama suara motornya.

Hari ini cuaca desa cukup cerah, matahari muncul di balik awan dengan gagahnya, sedangkan awan mendung bergeser jauh menuju barat daya. Curah hujan yang tinggi beberapa hari ini memang membuat penduduk menurunkan aktivitasnya di kebun. Akung pergi ke belakang bergegas mengganti sarungnya dengan pakaian yang agak lusuh, beliau mengambil cangkul dan beberapa lipatan karung lantas pergi ke kebun atas untuk mengambil gadung yang siap panen. Sementara emak dan aku akan menyusul beliau setelah menjemur pakaian. 

Tak lama kami pun menyusul akung yang telah pergi ke kebun terlebih dahulu. Jalan setapak yang kami lalui agak licin karena sisa hujan pagi tadi, baru beberapa meter menanjak napasku sudah tak beraturan. Padahal bisa dibilang aku sudah terbiasa dengan medan sedemikian karena sering berkegiatan naik turun gunung. Ah, atau mungkin karena satu bulan ini aku benar-benar off berolahraga ya, biasanya setiap pagi selepas subuh aku selalu jogging mengelilingi kampus, tapi entahlah rasa malas yang tumbuh pesat dalam diriku mengalahkan kebiasaan rutinku. 

Aku berhenti sejenak, membungkuk, lalu berdiri lagi mengambil napas dalam-dalam. Emak yang sejak tadi berada di depanku kemudian menoleh ke belakang lalu tersenyum melihatku yang tampak tertinggal jauh di belakangnya. Ya Allah, ternyata sungguh lemah fisikku dibanding emak yang makin sepuh. Padahal usiaku masih 20-an, sedangkan emak yang sudah berusia lanjut masih sanggup naik turun gunung setiap harinya. Kuambil botol air mineral dari tas karung goni yang kubawa lalu kuteguk sedikit untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku mencoba berlari mengejar emak yang semakin jauh.

Sesampainya di kebun atas kulihat dari kejauhan desa kami membentang tak begitu jelas karena tertutup kabut, pohon pinus di sekeliling diterpa angin membuat desah seperti suara hujan di kejauhan. suara tenggeret melekik tajam di telingaku, mungkin karena dia sedang hinggap di pohon tak jauh dari tempatku berdiri, mereka membuat suara yang indah untuk menarik dekat pasangannya. Aku melihat gadung-gadung yang sudah diangkat dari persembunyiannya, di dalam tanah yang subur ini adalah tempat yang sangat tepat untuk kami bercocok tanam.

Sekitar satu jam lebih kami memunguti gadung-gadung yang telah dicangkul oleh akung, kemudian memasukkannya ke dalam karung. Akung izin untuk pulang lebih dahulu sambil membawa satu karung gadung untuk di bawa pulang. Masih ada satu setengah karung gadung di sini, jatah untuk kami bawa turun berdua. Aku dan emak lalu singgah ke kebun sebelah yang ditanami kacang tanah. 

"Sepertinya minggu depan kacang tanah siap dipanen" kata emak sambil menyeka keringat di keningnya. Tiba-tiba dari kejauhan sosok pemuda melambaikan tangannya ke arah kami, aku tak dapat mengenalinya karena dari jauh tak begitu jelas. Ia memakai topi rimba hitam dan kaus pendek abu-abu dengan celana training hitam serta sepatu boot dari karet, di belakangnnya menggantung karung besar berisi rumput segar. semakin mendekat semakin aku sadar bahwa itu adalah mas Rasyid yang sedang mencari rumput untuk makan sapi-sapinya. aku terheran, bukankah tadi ia sedang keluar ke kecamatan, kenapa sekarang sudah ada di bukit dengan sekarung rumput segar di punggungnya?.

"lagi panen gadung mbah?" tanyanya dengan senyum lebar

"iya, nak Rasyid. Alhamdulillah" jawab emak sambil mencabut satu tanaman kacang tanah.

Mas Rasyid meletakkan sekarung rumputnya di bawah lalu duduk dengan bersandar pohon pisang di belakangnya. dia kemudian nyeletuk tentang kacang tanah kami yang  sebentar lagi akan menyusul untuk dipanen. aku menawarkan sebotol minuman kepadanya namun ia menolak.

"terima kasih, baru saja tadi minum di kran atas" ucapnya santai sambil melepas lelah.

Diam-diam kuperhatikan raut wajah mas Rasyid yang penuh keringat, ia kemudian mencabut satu tanaman kacang lalu menyodorkan ke arahku. "Ini cobalah" katanya. 

"mentah?" aku terheran

"tentu saja, cobalah satu, enak kok" katanya meyakinkan. 

Aku masih terdiam merasa aneh, lalu dia menguliti sebuah kacang dan memakannya mentah-mentah. 

"Enak, Za cobalah" dia mulai tertawa menggodaku.

"Nggak, sakit nanti perutku". aku bersikeras
Kata emak penduduk di sini memang biasa memakan kacang mentah, ya meskipun hanya sekadar icip-icip saja namun tetap saja bagiku itu agak aneh.

"Ayo, nduk kita turun, sebelum mendung bergeser ke sini" ajak emak kepada kami 

"Nggih, mak. Tak bantuin bawa karung yang besar ya mak" aku menawarkan diri membantu emak, namun emak agak meragukan kemampuanku.

"Kuat to piye kamu?, emak saja yang bawa karung besar, kamu bawa yang kecil"

"Kuat, kok mak..akung saja kuat tadi bawa turun sekarung"

Sebelum emak mengangkut karung yang besar aku mencoba mendahului emak, dan benar saja ternyata aku begitu sempoyongan mengangkatnya, lalu kuletakkan kembali karung berisi gadung itu ke tanah.

"Berat juga, mak" kataku nyengir.

kulihat Mas Rasyid dan emak menertawakanku

"Ngeyel sih" cetus mas Rasyid sambil meringis.

Emak langsung mengangkat karung besar lalu diletakkannya di samping bertumpu pada pinggang. Kulihat emak biasa-biasa saja dalam membawanya, aku tertegun heran

 "Emak kuat?"

"kuat, nduk..emak sudah biasa. setiap sesuatu itu bakal terasa mudah tergantung kebiasaan, nduk."

Aku masih terus melihat emak yang sudah sepuh namun begitu bugar, sementara aku yang cukup muda namun masih kalah jauh dengan emak.

"Mbahmu itu memang roso-roso, Za" kata mas Rasyid meyakinkan.

Aku masih berdiri, terdiam.

"Lha, piye to kok malah ngelamun, ayo turun" mas Rasyid menggelengkan kepala.

Selama perjalanan turun kami saling bercerita mengenang masa kecil kami yang masih polos. Aku terbahak sendiri jika mengingatnya, apalagi ketika dulu mas Rasyid menyinggung soal aku yang begitu berani terang-terangan menyatakan padanya kalau aku mengidolakannya. Jalan setapak yang licin membuatku harus ekstra hati-hati, jika aku ceroboh bisa saja tergelincir ke bawah. Aku bisa melihat emak terus berjalan dari kejauhan, aku berhenti sejenak mengambil napas dalam-dalam.

"Katanya anak Mapala, kok baru turun berapa meter sudah ngos-ngosan" ejeknya padaku

"Loh, tau dari mana aku ikut Mapala?" aku terheran.

"Kamu lupa ya, kita berteman di facebook, aku sering melihat berandamu",

"ha?" aku melongo tak percaya.

Mas Rasyid sadar akan perkataannya lalu bergehas mengubahnya.

"Ah bukan itu,  maksudku dulu sering melihat statusmu muncul di berandaku" 
Sekali lagi kulihat wajahnya tampak merah merona.

"Wah, mas ini mondok kok ya masih sempat-sempatnya online"

Kualihkan pembicaraan agar dia tak canggung hingga tak terasa ternyata kami sudah hampir sampai di perkampungan. Kulihat emak menungguku di bawah pohon alpukat dekat percabangan jalan. Emak tau kalau mas Rasyid akan mengambil jalur yang berbeda dengan yang kami lewati karena ia pasti akan memilih jalan yang dekat dengan lokasi peternakan sapi perah milik keluarganya.

"saya duluan, Mak, Iza..."

Mas Rasyid mengambil jalur kiri, sedangkan aku dan emak lanjut ke jalur kanan. Setelah turun beberapa langkah melewati semak-semak, kami melihat bahwa akung kedatangan tamu.

"Kok ada motor bagus parkir di depan rumah, siapa yo nduk?" tanya emak kepadaku. Aku menggeleng tak tau

"Wah, mboten sumerep kula, mak" ("wah, aku tidak tahu, mak") kataku. emak mempercepat langkah agar lekas sampai di rumah. Setelah sampai di rumah, aku berhenti sejenak di ayunan tepat di bawah pohon rambutan.

Emak membersihkan diri di kran samping rumah, kemudian bergegas masuk dari pintu belakang. Lima menit berselang, emak muncul dari balik jendela kamar beliau kemudian memberitahukan sesuatu lantas berlalu.

"Nduk, kok gak ndang ganti baju? ditunggu temanmu"

Aku hanya kaget sembari menerka-nerka. "Teman? siapa? dari mana?" sebelum kudapati jawabannya kudengar suara langkah kaki mendekatiku,

"apa aku bermimpi?"

bibirku bergetar, detak jantungku tak beraturan, kami diam berdua, bertatap mata sangat lama.  Angin bertiup kencang, di bawah pohon rambutan milik emak, sisa-sisa hujan jatuh tepat di pelupuk mataku. Mungkin dari sini kisah kami akan bermula. Adalah dia, kabut tebal dari kota tua telah kembali.

(bersambung)

Selasa, 11 Februari 2020

AKU DAN SISA HUJAN KEMARIN

Cerbung oleh Fiera Scout

Kabut dari Kota Tua (1)

"Brrrrr" dingin udara membangunkanku paksa dari tidur lelapku. Lepas itu kucari-cari di mana jaket outdoor-ku namun tak jua ketemu. Kulihat layar di HP-ku ternyata baru menunjukkan pukul 01.45. Aku duduk termenung sembari menekuk lutut lalu menyandarkan kepalaku di atasnya. hari ini memang tak seperti biasanya, hujan lebat disertai angin yang mengguyur desaku semalam suntuk menjadikan udara lebih dingin dari biasanya, bahkan sampai sekarang pun rintik hujan masih terdengar berjatuhan di atap rumah.

"Cklik" lampu ruang tengah tiba-tiba menyala, beberapa detik berselang terdengar ketukan pada pintu kamarku. "nduk...buka, nduk!" ternyata suara emak lirih dari balik pintu. "nggih, mak" kunyalakan lampu kamarku lalu kubuka pintu dengan pelan "ada apa, mak?" tanyaku heran, tak biasanya emak membangunkanku dini hari begini.

"Selimut, nduk..hawane adem gak kayak biasane" ("selimut,nduk..hawanya dingin tak seperti biasanya")  kata emak sambil menyodorkan selimut motif garis-garis putih hitam yang masih terlipat rapi. "nggih, mak. matur suwun". Ternyata bukan hanya aku yang merasakan kalau malam ini sangat dingin, emak pun yang puluhan tahun tinggal di lereng gunung welirang merasakan peningkatan suhu dingin yang tak biasa.

"Emak nggak bisa tidur, nduk kalau hujan nggak reda-reda begini, lahan di atas banyak yang sudah gundul, takut kalau sewaktu-waktu terjadi longsor dan  banjir bandang." ucap emak dengan nada gelisah. "Nggih, mak..semoga saja tidak terjadi apa-apa  ya mak" kataku menenangkan namun sebenarnya juga takut. "yasudah nduk, istirahat lagi..katanya nanti mau balik ke kampus. Emak mau ambil air wudlu, mau tahajud dulu biar hati emak tenang" bliau menutup kembali pintu kamarku kemudian berlalu.

Hampir dua jam aku terjaga, setiap kupaksa memejamkan mata hatiku gelisah, entah apa yang aku pikirkan, masalah revisian skripsi yang sama sekali belum kujamah? masalah organisasi? atau mungkin karena dia?.

Kuakui beberapa hari ini aku selalu gagal fokus dalam melakukan aktivitasku. kemarin Akung minta tolong dibuatkan teh manis, tapi yang kumasukkan justru garam. Di asrama pun demikian, Rini nitip dibelikan penyetan lele, yang kupesan malah penyet ikan pari. pikiranku sedang kacau, berkecamuk, tak tau lah perasaan apa itu namanya.

Baru beberapa detik kupejamkan mata terdengar notifikasi dari ponselku, "lah, sudah ada sinyal" gumamku. Desa tempat emak tinggal memang sangat terpencil, terletak di kaki gunung welirang, sinyal internet naik turun tak karuan, ya seperti hatiku saat ini. jika ingin mendapat sinyal internet yang lumayan stabil aku mesti berjalan turun kurang lebih sepuluh menit menuju dusun sebelah.

"Za, kapan balik? ada yang nyariin kamu, tadi datang ke asrama putri. mas-mas ganteng. hehe" pesan whatsaap dari Rini, kawanku sekamar di asrama. kulihat ternyata pesan dikirim 8 jam yang lalu.

"Siapa Rin? kalau cuaca baik aku balik hari ini kalo masih hujan ya terpaksa besok" balasku, tapi masih centang satu.

Tak terasa adzan subuh sudah berkumandang, setiap kalimat darinya terdengar sungguh indah nan damai. apa lagi puji-pujian sholawat yang dibawakan setelah adzan, benar-benar merdu. Aku langsung teringat kawan masa kecilku yang dulu kuidolakan. mendengar suaranya dari towa musalla langsung bisa menebak siapakah sang muadzin.

"Nak Rasyid sudah pulang, nduk! baru wisuda tahfidz dua hari lalu" kata emak menjawab rasa penasaranku

"Oh jadi benar itu suara mas Rasyid. mondok di mana memangnya, mak?" tanyaku.

"Di Kudus, nduk. alhamdulillah setelah ini ada penerus akungmu dalam mengelola TPQ.

Akung sejak dulu sampai sekarang adalah guru ngaji TPQ, setelah sholat maghrib berjamaah anak-anak di dusun ini banyak yang menyempatkan waktunya untuk menimba ilmu di serambi musalla sambil menunggu sholat isya. Nah mas Rasyid ini adalah murid akung, dia dua tahun lebih tua dariku. sejak kecil kami sering bermain bersama, kami sangat akrab satu sama lain.

Masa kecilku kuhabiskan di desa ini bersama kakek dan nenekku, aku memanggil mereka akung dan emak. ibuku memilih untuk menyekolahkanku di madrasah dekat rumah emak agar nantinya bisa mengenyam pendidikan dengan baik, terutama pendidikan akhlak dan agama karena di desa tempat emak tinggal terkenal dengan keramahan dan kealiman penduduknya. namun rencana ibu dan ayah tak berjalan mulus. Ketika duduk di bangku kelas lima aku harus pindah sekolah mengikuti ayah ibuku yang merantau ke Medan untuk berjualan makanan di sana.

Selepas jamaah subuh aku segera beranjak dari musalla, ketika hendak melangkah pulang  kuamati ke sana ke sini sandal jepit yang kupakai tadi, ke mana perginya, kenapa tidak ada. udara semakin dingin, gerimis mulai merapat berjatuhan lalu menyatu menjadi hujan yang deras.

"Nyari apa?"

Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan kopyah hitam di kepalamya sudah berdiri tepat di hadapanku sambil mengembangkan payung.

"Eh, mas Rasyid. Anu..sandalku hilang, mas" kataku nyengir.

"Tertukar sama orang mungkin, banyak jamaah yang buru-buru pulang karena hujan"

"Emm, bisa jadi." kataku

"Pakai punyaku dulu, aku masih lama pulangnya, nanti kalau sudah ketahuan sandal mana yg tertukar tak kembalikan."

"Tak usah mas, aku ndelamak, tak lari saja, dekat situ aja kok"  (ndelamak=tidak pakai sandal)

"Kalau begitu pakai payungku, hujan sepertinya makin deras"

Aku terdiam, tak enak menerima bantuannya sedang dia sendiri nantinya harus berbasah-basah menerjang hujan.

"Kok diam? pakai saja, aku masih ingin berlama-lama di musalla, tenang saja"

aku masih diam, tak enak hati padanya.

"Halah, kesuwen" (duh, kelamaan)

Mas Rasyid menarik tanganku untuk kemudian dipegangkan ke gagang payungnya yang sudah dikembangkan.

"Yasudah, tak bawa dulu ya" aku segera bergegas pergi ke rumah tanpa menggunakan alas kaki.

Setelah beberapa jam menunggu, hujan mereda pada akhirnya. kulihat mas Rasyid baru saja pulang dari musalla. Aku bergegas menyiapkan barang-barang yang akan ku bawa kembali ke asrama. Tak lama emak mendatangiku lantas meminta agar segera sarapan. kami bertiga menikmati nasi hangat dengan terong bakar sambal kemangi ditambah lauk ikan asin yang gurih.

Sayur-sayuran yang segar langsung emak petik dari kebun belakang. emak dan akung mempunyai banyak kebun di sini. di belakang rumah terdapat bermacam-macam sayuran segar di antaranya; kangkung, ubi jalar, cabe, tomat, terong, singkong, dan labu siam yang dahannya menjalar di dinding besek dapur.

Di kanan dan kiri rumah emak terdapat halaman yang luas. di sana berjajar empat pohon rambutan yang lumayan rindang, di bawahnya terpasang sebuah ayunan dari ban mobil bekas yang sudah berlumut. di depan rumah emak berdiri kokoh dua pohon jambu serta lima pohon durian yang menjulang tinggi. di atas bukit emak dan akung masih punya tiga lahan yang masing-masing ditanami kacang tanah, jagung, dan gadung.

"Assalamualaikum" terdengar ada tamu mengucap salam dengan halus, kulihat ke luar ternyata itu adalah mas Rasyid.

"Ada apa, mas?" tanyaku.

"Mau ngembalikan sandal, Za. sudah ketemu, ternyata tertukar dengan mbah Marilah, tadi orangnya balik ke musalla."

"Oh, iya ta mas? terima kasih loh mas, oh iya sebentar kuambilkan payungnya"

"Mau ke mana Za kok sudah cantik begitu? eh"

Sepertinya mas Rasyid kurang tepat memilih kata-kata, kulihat wajahnya langsung berubah merah menahan malu. aku menunduk tersenyum pura-pura tidak dengar.

"Mau balik ke kampus, mas. Hehe"

"Oh, mas mau ke kecamatan setelah ini, mau bareng ke terminal sekalian?"

"Boleh, mas. Alhamdulillah dapat ojek gratis" godaku sambil nyengir.

"Masih lama kamu?"

"Udah selesai ini, siap berangkat aku"

"Oh oke, tunggu di sini sebentar ya, mas ambil motor dulu"

(bersambung)