Kabut dari Kota Tua (2)
Namanya Jamal Rasyid, memiliki arti tampan dan maha pandai. Doa yang tersemat di dalam namanya benar-benar menjadi kenyataan. Kelebihan mas Rasyid selain pintar dan tampan adalah karena kesabaran dan kelembutannya kepada ke siapa pun yang dijumpainya, termasuk mereka yang usianya lebih muda darinya. Tak heran banyak tetangga yang begitu mengidamkan menantu seperti mas Rasyid.
Beberapa menit berselang kudengar suara motor mas Rasyid berhenti di depan rumah.
"Assalamualaikum" suara ramahnya terdengar oleh kami.
"Ke kecamatan, nak Rasyid?" tanya akung
"Nggih, bah... kebetulan ada perlu dengan kawan" jawabnya.
"Nitip putuku iki ya" kata akung sambil menepuk pundak mas Rasyid.
"Nggih, abah."
Mas Rasyid mempersilakanku untuk naik, aku memindah daypack-ku untuk kupakai di depan. tak lucu kan kalau sampai di turunan nanti badanku tiba-tiba melorot ke bawah. Ketika hendak naik motor tiba-tiba ponselku berdering.
"Ada telepon" kulihat pada layar ponselku ternyata panggilan dari Maharini, kawan sekamarku.
"Aku angkat sebentar ya, mas".
***
"Kenapa, nduk? kok bingung gitu?" tanya emak heran melihat ekspresiku berubah selepas menerima panggilan.
"Mas Rasyid, maaf ya..aku tak jadi nebeng ke terminal"
"Lha, kenapa?" tanya emak, akung, dan mas Rasyid bersamaan.
"Kampus kena banjir, di kota pun demikian, akses transportasi macet total karena air setinggi perut"
Hujan kemarin turun seharian tak berjeda, beberapa saat juga sempat diterpa angin puting beliung. Banyak bangunan roboh, kampusku pun diterjang banjir. Setiap tahunnya daerah dekat kampusku memang langganan banjir, butuh waktu sekitar dua hari untuk menjadikan genangan air benar-benar hilang.
Meski terkejut akan kabar tersebut aku bisa melihat ada rasa kecewa pada raut wajah mas Rasyid, tapi hanya sebentar, tiba-tiba senyumnya mengembang sembari menatapku sekilas.
"Hujan semalam membuat pusat kota seperti akuarium. " pungkasnya
"Iya, tahun lalu juga begitu, tapi tidak separah tahun ini" sahutku
"Itu tandanya kamu disuruh tinggal lebih lama di sini, menemani mbah kholifah dan Abah. Main tiga hari saja mah masih kurang. hehe"
Wajahnya yang tadi tampak kecewa sekarang benar-benar menjadi sumringah. Ia pamit kepada kami lalu perlahan menghilang bersama suara motornya.
Hari ini cuaca desa cukup cerah, matahari muncul di balik awan dengan gagahnya, sedangkan awan mendung bergeser jauh menuju barat daya. Curah hujan yang tinggi beberapa hari ini memang membuat penduduk menurunkan aktivitasnya di kebun. Akung pergi ke belakang bergegas mengganti sarungnya dengan pakaian yang agak lusuh, beliau mengambil cangkul dan beberapa lipatan karung lantas pergi ke kebun atas untuk mengambil gadung yang siap panen. Sementara emak dan aku akan menyusul beliau setelah menjemur pakaian.
Tak lama kami pun menyusul akung yang telah pergi ke kebun terlebih dahulu. Jalan setapak yang kami lalui agak licin karena sisa hujan pagi tadi, baru beberapa meter menanjak napasku sudah tak beraturan. Padahal bisa dibilang aku sudah terbiasa dengan medan sedemikian karena sering berkegiatan naik turun gunung. Ah, atau mungkin karena satu bulan ini aku benar-benar off berolahraga ya, biasanya setiap pagi selepas subuh aku selalu jogging mengelilingi kampus, tapi entahlah rasa malas yang tumbuh pesat dalam diriku mengalahkan kebiasaan rutinku.
Aku berhenti sejenak, membungkuk, lalu berdiri lagi mengambil napas dalam-dalam. Emak yang sejak tadi berada di depanku kemudian menoleh ke belakang lalu tersenyum melihatku yang tampak tertinggal jauh di belakangnya. Ya Allah, ternyata sungguh lemah fisikku dibanding emak yang makin sepuh. Padahal usiaku masih 20-an, sedangkan emak yang sudah berusia lanjut masih sanggup naik turun gunung setiap harinya. Kuambil botol air mineral dari tas karung goni yang kubawa lalu kuteguk sedikit untuk membasahi tenggorokanku yang kering. Aku mencoba berlari mengejar emak yang semakin jauh.
Sesampainya di kebun atas kulihat dari kejauhan desa kami membentang tak begitu jelas karena tertutup kabut, pohon pinus di sekeliling diterpa angin membuat desah seperti suara hujan di kejauhan. suara tenggeret melekik tajam di telingaku, mungkin karena dia sedang hinggap di pohon tak jauh dari tempatku berdiri, mereka membuat suara yang indah untuk menarik dekat pasangannya. Aku melihat gadung-gadung yang sudah diangkat dari persembunyiannya, di dalam tanah yang subur ini adalah tempat yang sangat tepat untuk kami bercocok tanam.
Sekitar satu jam lebih kami memunguti gadung-gadung yang telah dicangkul oleh akung, kemudian memasukkannya ke dalam karung. Akung izin untuk pulang lebih dahulu sambil membawa satu karung gadung untuk di bawa pulang. Masih ada satu setengah karung gadung di sini, jatah untuk kami bawa turun berdua. Aku dan emak lalu singgah ke kebun sebelah yang ditanami kacang tanah.
"Sepertinya minggu depan kacang tanah siap dipanen" kata emak sambil menyeka keringat di keningnya. Tiba-tiba dari kejauhan sosok pemuda melambaikan tangannya ke arah kami, aku tak dapat mengenalinya karena dari jauh tak begitu jelas. Ia memakai topi rimba hitam dan kaus pendek abu-abu dengan celana training hitam serta sepatu boot dari karet, di belakangnnya menggantung karung besar berisi rumput segar. semakin mendekat semakin aku sadar bahwa itu adalah mas Rasyid yang sedang mencari rumput untuk makan sapi-sapinya. aku terheran, bukankah tadi ia sedang keluar ke kecamatan, kenapa sekarang sudah ada di bukit dengan sekarung rumput segar di punggungnya?.
"lagi panen gadung mbah?" tanyanya dengan senyum lebar
"iya, nak Rasyid. Alhamdulillah" jawab emak sambil mencabut satu tanaman kacang tanah.
Mas Rasyid meletakkan sekarung rumputnya di bawah lalu duduk dengan bersandar pohon pisang di belakangnya. dia kemudian nyeletuk tentang kacang tanah kami yang sebentar lagi akan menyusul untuk dipanen. aku menawarkan sebotol minuman kepadanya namun ia menolak.
"terima kasih, baru saja tadi minum di kran atas" ucapnya santai sambil melepas lelah.
Diam-diam kuperhatikan raut wajah mas Rasyid yang penuh keringat, ia kemudian mencabut satu tanaman kacang lalu menyodorkan ke arahku. "Ini cobalah" katanya.
"mentah?" aku terheran
"tentu saja, cobalah satu, enak kok" katanya meyakinkan.
Aku masih terdiam merasa aneh, lalu dia menguliti sebuah kacang dan memakannya mentah-mentah.
"Enak, Za cobalah" dia mulai tertawa menggodaku.
"Nggak, sakit nanti perutku". aku bersikeras
Kata emak penduduk di sini memang biasa memakan kacang mentah, ya meskipun hanya sekadar icip-icip saja namun tetap saja bagiku itu agak aneh.
"Ayo, nduk kita turun, sebelum mendung bergeser ke sini" ajak emak kepada kami
"Nggih, mak. Tak bantuin bawa karung yang besar ya mak" aku menawarkan diri membantu emak, namun emak agak meragukan kemampuanku.
"Kuat to piye kamu?, emak saja yang bawa karung besar, kamu bawa yang kecil"
"Kuat, kok mak..akung saja kuat tadi bawa turun sekarung"
Sebelum emak mengangkut karung yang besar aku mencoba mendahului emak, dan benar saja ternyata aku begitu sempoyongan mengangkatnya, lalu kuletakkan kembali karung berisi gadung itu ke tanah.
"Berat juga, mak" kataku nyengir.
kulihat Mas Rasyid dan emak menertawakanku
"Ngeyel sih" cetus mas Rasyid sambil meringis.
Emak langsung mengangkat karung besar lalu diletakkannya di samping bertumpu pada pinggang. Kulihat emak biasa-biasa saja dalam membawanya, aku tertegun heran
"Emak kuat?"
"kuat, nduk..emak sudah biasa. setiap sesuatu itu bakal terasa mudah tergantung kebiasaan, nduk."
Aku masih terus melihat emak yang sudah sepuh namun begitu bugar, sementara aku yang cukup muda namun masih kalah jauh dengan emak.
"Mbahmu itu memang roso-roso, Za" kata mas Rasyid meyakinkan.
Aku masih berdiri, terdiam.
"Lha, piye to kok malah ngelamun, ayo turun" mas Rasyid menggelengkan kepala.
Selama perjalanan turun kami saling bercerita mengenang masa kecil kami yang masih polos. Aku terbahak sendiri jika mengingatnya, apalagi ketika dulu mas Rasyid menyinggung soal aku yang begitu berani terang-terangan menyatakan padanya kalau aku mengidolakannya. Jalan setapak yang licin membuatku harus ekstra hati-hati, jika aku ceroboh bisa saja tergelincir ke bawah. Aku bisa melihat emak terus berjalan dari kejauhan, aku berhenti sejenak mengambil napas dalam-dalam.
"Katanya anak Mapala, kok baru turun berapa meter sudah ngos-ngosan" ejeknya padaku
"Loh, tau dari mana aku ikut Mapala?" aku terheran.
"Kamu lupa ya, kita berteman di facebook, aku sering melihat berandamu",
"ha?" aku melongo tak percaya.
Mas Rasyid sadar akan perkataannya lalu bergehas mengubahnya.
"Ah bukan itu, maksudku dulu sering melihat statusmu muncul di berandaku"
Sekali lagi kulihat wajahnya tampak merah merona.
"Wah, mas ini mondok kok ya masih sempat-sempatnya online"
Kualihkan pembicaraan agar dia tak canggung hingga tak terasa ternyata kami sudah hampir sampai di perkampungan. Kulihat emak menungguku di bawah pohon alpukat dekat percabangan jalan. Emak tau kalau mas Rasyid akan mengambil jalur yang berbeda dengan yang kami lewati karena ia pasti akan memilih jalan yang dekat dengan lokasi peternakan sapi perah milik keluarganya.
"saya duluan, Mak, Iza..."
Mas Rasyid mengambil jalur kiri, sedangkan aku dan emak lanjut ke jalur kanan. Setelah turun beberapa langkah melewati semak-semak, kami melihat bahwa akung kedatangan tamu.
"Kok ada motor bagus parkir di depan rumah, siapa yo nduk?" tanya emak kepadaku. Aku menggeleng tak tau
"Wah, mboten sumerep kula, mak" ("wah, aku tidak tahu, mak") kataku. emak mempercepat langkah agar lekas sampai di rumah. Setelah sampai di rumah, aku berhenti sejenak di ayunan tepat di bawah pohon rambutan.
Emak membersihkan diri di kran samping rumah, kemudian bergegas masuk dari pintu belakang. Lima menit berselang, emak muncul dari balik jendela kamar beliau kemudian memberitahukan sesuatu lantas berlalu.
"Kok ada motor bagus parkir di depan rumah, siapa yo nduk?" tanya emak kepadaku. Aku menggeleng tak tau
"Wah, mboten sumerep kula, mak" ("wah, aku tidak tahu, mak") kataku. emak mempercepat langkah agar lekas sampai di rumah. Setelah sampai di rumah, aku berhenti sejenak di ayunan tepat di bawah pohon rambutan.
Emak membersihkan diri di kran samping rumah, kemudian bergegas masuk dari pintu belakang. Lima menit berselang, emak muncul dari balik jendela kamar beliau kemudian memberitahukan sesuatu lantas berlalu.
"Nduk, kok gak ndang ganti baju? ditunggu temanmu"
Aku hanya kaget sembari menerka-nerka. "Teman? siapa? dari mana?" sebelum kudapati jawabannya kudengar suara langkah kaki mendekatiku,
"apa aku bermimpi?"
"apa aku bermimpi?"
bibirku bergetar, detak jantungku tak beraturan, kami diam berdua, bertatap mata sangat lama. Angin bertiup kencang, di bawah pohon rambutan milik emak, sisa-sisa hujan jatuh tepat di pelupuk mataku. Mungkin dari sini kisah kami akan bermula. Adalah dia, kabut tebal dari kota tua telah kembali.
(bersambung)
(bersambung)