Selasa, 11 Februari 2020

AKU DAN SISA HUJAN KEMARIN

Cerbung oleh Fiera Scout

Kabut dari Kota Tua (1)

"Brrrrr" dingin udara membangunkanku paksa dari tidur lelapku. Lepas itu kucari-cari di mana jaket outdoor-ku namun tak jua ketemu. Kulihat layar di HP-ku ternyata baru menunjukkan pukul 01.45. Aku duduk termenung sembari menekuk lutut lalu menyandarkan kepalaku di atasnya. hari ini memang tak seperti biasanya, hujan lebat disertai angin yang mengguyur desaku semalam suntuk menjadikan udara lebih dingin dari biasanya, bahkan sampai sekarang pun rintik hujan masih terdengar berjatuhan di atap rumah.

"Cklik" lampu ruang tengah tiba-tiba menyala, beberapa detik berselang terdengar ketukan pada pintu kamarku. "nduk...buka, nduk!" ternyata suara emak lirih dari balik pintu. "nggih, mak" kunyalakan lampu kamarku lalu kubuka pintu dengan pelan "ada apa, mak?" tanyaku heran, tak biasanya emak membangunkanku dini hari begini.

"Selimut, nduk..hawane adem gak kayak biasane" ("selimut,nduk..hawanya dingin tak seperti biasanya")  kata emak sambil menyodorkan selimut motif garis-garis putih hitam yang masih terlipat rapi. "nggih, mak. matur suwun". Ternyata bukan hanya aku yang merasakan kalau malam ini sangat dingin, emak pun yang puluhan tahun tinggal di lereng gunung welirang merasakan peningkatan suhu dingin yang tak biasa.

"Emak nggak bisa tidur, nduk kalau hujan nggak reda-reda begini, lahan di atas banyak yang sudah gundul, takut kalau sewaktu-waktu terjadi longsor dan  banjir bandang." ucap emak dengan nada gelisah. "Nggih, mak..semoga saja tidak terjadi apa-apa  ya mak" kataku menenangkan namun sebenarnya juga takut. "yasudah nduk, istirahat lagi..katanya nanti mau balik ke kampus. Emak mau ambil air wudlu, mau tahajud dulu biar hati emak tenang" bliau menutup kembali pintu kamarku kemudian berlalu.

Hampir dua jam aku terjaga, setiap kupaksa memejamkan mata hatiku gelisah, entah apa yang aku pikirkan, masalah revisian skripsi yang sama sekali belum kujamah? masalah organisasi? atau mungkin karena dia?.

Kuakui beberapa hari ini aku selalu gagal fokus dalam melakukan aktivitasku. kemarin Akung minta tolong dibuatkan teh manis, tapi yang kumasukkan justru garam. Di asrama pun demikian, Rini nitip dibelikan penyetan lele, yang kupesan malah penyet ikan pari. pikiranku sedang kacau, berkecamuk, tak tau lah perasaan apa itu namanya.

Baru beberapa detik kupejamkan mata terdengar notifikasi dari ponselku, "lah, sudah ada sinyal" gumamku. Desa tempat emak tinggal memang sangat terpencil, terletak di kaki gunung welirang, sinyal internet naik turun tak karuan, ya seperti hatiku saat ini. jika ingin mendapat sinyal internet yang lumayan stabil aku mesti berjalan turun kurang lebih sepuluh menit menuju dusun sebelah.

"Za, kapan balik? ada yang nyariin kamu, tadi datang ke asrama putri. mas-mas ganteng. hehe" pesan whatsaap dari Rini, kawanku sekamar di asrama. kulihat ternyata pesan dikirim 8 jam yang lalu.

"Siapa Rin? kalau cuaca baik aku balik hari ini kalo masih hujan ya terpaksa besok" balasku, tapi masih centang satu.

Tak terasa adzan subuh sudah berkumandang, setiap kalimat darinya terdengar sungguh indah nan damai. apa lagi puji-pujian sholawat yang dibawakan setelah adzan, benar-benar merdu. Aku langsung teringat kawan masa kecilku yang dulu kuidolakan. mendengar suaranya dari towa musalla langsung bisa menebak siapakah sang muadzin.

"Nak Rasyid sudah pulang, nduk! baru wisuda tahfidz dua hari lalu" kata emak menjawab rasa penasaranku

"Oh jadi benar itu suara mas Rasyid. mondok di mana memangnya, mak?" tanyaku.

"Di Kudus, nduk. alhamdulillah setelah ini ada penerus akungmu dalam mengelola TPQ.

Akung sejak dulu sampai sekarang adalah guru ngaji TPQ, setelah sholat maghrib berjamaah anak-anak di dusun ini banyak yang menyempatkan waktunya untuk menimba ilmu di serambi musalla sambil menunggu sholat isya. Nah mas Rasyid ini adalah murid akung, dia dua tahun lebih tua dariku. sejak kecil kami sering bermain bersama, kami sangat akrab satu sama lain.

Masa kecilku kuhabiskan di desa ini bersama kakek dan nenekku, aku memanggil mereka akung dan emak. ibuku memilih untuk menyekolahkanku di madrasah dekat rumah emak agar nantinya bisa mengenyam pendidikan dengan baik, terutama pendidikan akhlak dan agama karena di desa tempat emak tinggal terkenal dengan keramahan dan kealiman penduduknya. namun rencana ibu dan ayah tak berjalan mulus. Ketika duduk di bangku kelas lima aku harus pindah sekolah mengikuti ayah ibuku yang merantau ke Medan untuk berjualan makanan di sana.

Selepas jamaah subuh aku segera beranjak dari musalla, ketika hendak melangkah pulang  kuamati ke sana ke sini sandal jepit yang kupakai tadi, ke mana perginya, kenapa tidak ada. udara semakin dingin, gerimis mulai merapat berjatuhan lalu menyatu menjadi hujan yang deras.

"Nyari apa?"

Seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan kopyah hitam di kepalamya sudah berdiri tepat di hadapanku sambil mengembangkan payung.

"Eh, mas Rasyid. Anu..sandalku hilang, mas" kataku nyengir.

"Tertukar sama orang mungkin, banyak jamaah yang buru-buru pulang karena hujan"

"Emm, bisa jadi." kataku

"Pakai punyaku dulu, aku masih lama pulangnya, nanti kalau sudah ketahuan sandal mana yg tertukar tak kembalikan."

"Tak usah mas, aku ndelamak, tak lari saja, dekat situ aja kok"  (ndelamak=tidak pakai sandal)

"Kalau begitu pakai payungku, hujan sepertinya makin deras"

Aku terdiam, tak enak menerima bantuannya sedang dia sendiri nantinya harus berbasah-basah menerjang hujan.

"Kok diam? pakai saja, aku masih ingin berlama-lama di musalla, tenang saja"

aku masih diam, tak enak hati padanya.

"Halah, kesuwen" (duh, kelamaan)

Mas Rasyid menarik tanganku untuk kemudian dipegangkan ke gagang payungnya yang sudah dikembangkan.

"Yasudah, tak bawa dulu ya" aku segera bergegas pergi ke rumah tanpa menggunakan alas kaki.

Setelah beberapa jam menunggu, hujan mereda pada akhirnya. kulihat mas Rasyid baru saja pulang dari musalla. Aku bergegas menyiapkan barang-barang yang akan ku bawa kembali ke asrama. Tak lama emak mendatangiku lantas meminta agar segera sarapan. kami bertiga menikmati nasi hangat dengan terong bakar sambal kemangi ditambah lauk ikan asin yang gurih.

Sayur-sayuran yang segar langsung emak petik dari kebun belakang. emak dan akung mempunyai banyak kebun di sini. di belakang rumah terdapat bermacam-macam sayuran segar di antaranya; kangkung, ubi jalar, cabe, tomat, terong, singkong, dan labu siam yang dahannya menjalar di dinding besek dapur.

Di kanan dan kiri rumah emak terdapat halaman yang luas. di sana berjajar empat pohon rambutan yang lumayan rindang, di bawahnya terpasang sebuah ayunan dari ban mobil bekas yang sudah berlumut. di depan rumah emak berdiri kokoh dua pohon jambu serta lima pohon durian yang menjulang tinggi. di atas bukit emak dan akung masih punya tiga lahan yang masing-masing ditanami kacang tanah, jagung, dan gadung.

"Assalamualaikum" terdengar ada tamu mengucap salam dengan halus, kulihat ke luar ternyata itu adalah mas Rasyid.

"Ada apa, mas?" tanyaku.

"Mau ngembalikan sandal, Za. sudah ketemu, ternyata tertukar dengan mbah Marilah, tadi orangnya balik ke musalla."

"Oh, iya ta mas? terima kasih loh mas, oh iya sebentar kuambilkan payungnya"

"Mau ke mana Za kok sudah cantik begitu? eh"

Sepertinya mas Rasyid kurang tepat memilih kata-kata, kulihat wajahnya langsung berubah merah menahan malu. aku menunduk tersenyum pura-pura tidak dengar.

"Mau balik ke kampus, mas. Hehe"

"Oh, mas mau ke kecamatan setelah ini, mau bareng ke terminal sekalian?"

"Boleh, mas. Alhamdulillah dapat ojek gratis" godaku sambil nyengir.

"Masih lama kamu?"

"Udah selesai ini, siap berangkat aku"

"Oh oke, tunggu di sini sebentar ya, mas ambil motor dulu"

(bersambung)

1 komentar: