“Cepat sedikit, nanti keburu siang!” kata wanita setengah baya sambil
mengetuk pintu kamar. “Iya.. sebentar lagi…!” terdengar suara yang tak
begitu jelas dari dalam kamar itu. “anak ini sungguh keras kapala,
sukanya tergesa-gesa” kata wanita itu menggerutu. Tak lama kemudian
terlihat seorang remaja keluar dari balik pintu yang hendak rapuh itu.
Rambutnya dibiarkannya terurai agar sang bayu dapat membelai mesra. Bulu
mata lentiknya sering kali membuat iri gadis-gadis seumurannya, apa
lagi melihat pipinya yang berlesung, seolah-olah membuat dirinya tampak
sempurna di mata mereka.
“Rani” begitulah orang-orang memanggil gadis
cantik itu. Tak lama kemudian mata sipit gadis desa ini terbelalak pada
salah satu ruangan di depannya.
“Sudahkah Hamdan datang?” Tanya gadis itu sembari membenarkan sepatu
hak tinggi yang dihadiahi almarhum Ayahnya. “Sudah tiga puluh menit dia
menunggu di luar!” jawab wanita setengah baya sambil membenarkan
jilbabnya. “Oh, Ibu, kenapa tidak menyuruhnya masuk?”. “entah berapa
kali Ibu mengulang kata yang sama agar dia mau masuk ke gubuk kita,
calon Suamimu itu memang dasarnya sombong atau pura-pura sombong?” Ibu
sedikit kesal. “ Ah Ibu, Mas Hamdan tidak seperti itu, mungkin dia ingin
mencari udara segar!” gadis itu pun membela kekasihnya. “Ya sudah, kau
temui dulu Nak Hamdan, lama sudah dia menunggu!” kata Ibu sambil
menepuk-nepuk pundak anak gadisnya.
Gadis cantik tersebut kemudian menemui calon suaminya yang sedang
mondar-mandir di halaman rumahnya. “Mas Hamdan!” sapa gadis itu. Pemuda
itu seolah tersihir ketika melihat kekasihnya yang kian hari kian
memancarkan pesona kecantikannya. “Adik sudah siap?” tanya pemuda itu.
“Maaf, sudah membuat Mas menunggu lama!”. “Tidak apa-apa, Ibu kemana?
Kita berpamitan dulu!” ungkap Hamdan. Setelah berpamitan, mereka pun
pergi memesan segala perlengkapan untuk pernikahan mereka.
Hari ini memang hari yang spesial untuk kedua pasangan yang sebentar
lagi hendak memadu kasih ini. Pasalnya, selama ini mereka hanya bisa
bertegur sapa menggunakan telepon. Namun tidak untuk hari ini,
kebahagiaan tersendiri hadir ketika mereka saling bertatap muka lantaran
Hamdan benar-benar telah menjadi lelaki yang super sibuk. Selama
bertahun-tahun hidup dalam kondisi tak berkecukupan, ia pun memutuskan
merantau ke Kalimantan. Lima tahun lamanya Hamdan bekerja paruh waktu
untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu mengubah keadaan ekonomi
keluarganya. Dia juga ingin membuktikan pada keluarga kekasihnya itu
bahwa dia benar-benar telah matang untuk menjadi seorang kepala rumah
tangga. Kenyataannya, sekarang dia dapat merenovasi rumahnya di Jawa,
selain itu dia mampu membeli mobil bekas untuk memermudah aktivitasnya.
“Akhirnya, selesai juga” kata Rani sembari mengusap keningnya dengan
selempai yang ia beli beberapa hari lalu. “satu bulan lagi kita
benar-benar akan menikah, Mas sangat senang, tapi Mas juga deg-degan!”
ungkap Hamdan dengan wajah berseri-seri. “Adik juga demikian, semoga
perasaan Mas Hamdan pada Rani selalu seperti ini, tak berubah
sedikitpun!” kata Rani berharap. Kedua pasanagan ini pun kemudian
memutuskan untuk kembali setelah seharian memersiapkan perlengkapan
pernikahan mereka.
Undangan pernikahan Bunga Desa dengan Hamdan, pemuda miskin yang
mendadak kaya pun telah tersebar. Beberapa hari berlalu, Seseorang
mengirimkan beberapa bunga dengan ikatan pita hitam. Hal tersebut
berlangsung setiap hari. Bu Warda, Ibu Rani sangat senang ketika
putrinya mendapat kiriman bunga-bunga indah. “Nak Hamdan sangat
romantis!” begitulah kalimat yang berkali-kali diucapkan oleh Bu Warda.
Sebaliknya, Rani merasa gelisah dengan kiriman bunga tersebut. Pasalnya,
ketika ia berterima kasih pada kekasihnya itu, justru sang kekasih
keheranan. “Mas tak pernah mengirimkan ikatan bunga dek!” begitu jawab
Hamdan ketika Gadis cantik asal Jawa itu bertanya dengan polosnya.
Lama kelamaan Rani merasa terusik dengan kiriman bunga itu. “dari
siapakah bunga-bunga ini?”. Tanda tanya besar muncul pada diri Rani.
Bunga yang sama dengan ikatan yang sama setiap hari dikirim melalui pos.
ketika tukang pos itu ditanya, dari siapa kiriman itu, jawabnya selalu
“Saya hanya menjalankan tugas yang semestinya saya kerjakan!” kemudian
izin untuk mengantar paket-paket yang lain. Saat Rani mencoba menebak,
saat itu pun ia selalu gagal. “Jika bukan Mas Hamdan, lalu…?” pikirannya
melayang pada beberapa tahun yang lalu ketika ia masih bersama pacar
pertamanya. Anjar, dialah orang pertama yang dapat merebut hati bunga
desa ini. Bagaimana tidak, pemuda ini dikenal bijaksana oleh semua
orang.
Selama dua tahun, Rani dan Anjar menjalin kasih. Anjar, anak seorang
Kepala Daerah, meskipun berkecukupan namun ia tak pernah merasa sombong.
Pasangan ini sebenarnya saling mencintai, namun apalah daya, takdir
berkata lain. Keluarga Anjar terlibat kasus korupsi sehingga membuatnya
shok dan ia pun menghilang beberapa tahun tanpa memberikan kabar pada
orang-orang terdekatnya, termasuk kekasihnya.
Rani sempat patah hati dan kehilangan akal sehat ketika Anjar
meninggalkannya. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, kehidupan
baru datang pada diri Rani. Ia merasa cintanya digantung oleh Anjar,
lalu dengan bijak ia memutuskan untuk berpindah ke lain hati. Sebenarnya
sangat berat jika dia harus meninggalkan cinta pertamanya itu, namun ia
juga tak sanggup jika menjalani hubungan tanpa status. Hamdanlah orang
yang berhasil membuat taburan bunga-bunga sakura pada perjalanan cinta
Rani. Sekejap, namun meninggalkan keindahan yang terus bersemi di hati
Rani. Itulah Hamdan, pemuda tak berkecukupan yang berhasil mengubah
ketidakcukupannya.
“Apakah Mas Anjar yang melakukan semua ini?” pikiran Rani penuh
dengan tanda tanya. “Jika semua itu benar, lantas mengapa dia melakukan
semua itu?”. Rani pun teringat lagi akan sesuatu. “kau tahu mengapa aku
memberikan pita merah ini?” Tanya Anjar. Rani menggelengkan kepala.
“Pita merah akan terlihat indah, apalagi jika kau yang memakainya,
terutama disini!” kata Anjar sembari mengikatkan pita merah pada rambut
Rani. “Aku tidak akan memberikanmu pita hitam ini!” sambil memerlihatkan
salah satu pita yang ia bawa. “kenapa?” tanya Rani. “Karena hitam
adalah simbol kebencian!” kata Anjar.
Rani terbangun dari lamunannya untuk kedua kalinya. “Bunga itu…!”
Rani teringat akan sesuatu, ia pun berlari melihat bunga-bunga yang
telah seseorang kirimkan kepadanya. “Pita hitam!” gumam Rani dengan
tubuh gemetar. “Mas Anjar sudah mendengar berita pernikahanku!” kata
Rani lemas. Bu Warda yang melihat tingkah aneh putrinya kemudian
menghampiri. “Ada apa nak?” tanya sang Ibu. “Mas Anjar bu!” gumam Rani.
“Anjar anak Koruptor itu? Ada apa dengannya?” tanya Bu Warda. “Dia sudah
tahu bahwa aku akan menikah!” jawabnya lemas. “Lantas?”. Rani kemudian
duduk dan mengambil salah satu bunga pemberian orang tak dikenal itu.
“Ibu tahu bunga ini dari siapa?“ Rani bertanya dengan mata berkaca-kaca.
“Kau ini masih saja bertanya, tentu saja dari calon menantuku!” Bu
Warda tersenyum senang. “Ini bukan dari Mas Hamdan Bu, pita hitam ini
berarti simbol kebencian, aku takut hal buruk terjadi pada
pernikahanku!”. Bu Warda yang melihat putrinya bersedih kemudian mencoba
menghiburnya.
Dua minggu sebelum hari pernikahan, Hamdan berkata pada Rani bahwa ia
akan pergi sebentar ke Kalimantan untuk mengurus pekerjaannya. Ia pun
berjanji pada gadisnya bahwa ia tak akan lama, hanya membutuhkan waktu
dua hari untuk bisa kembali ke Jawa lagi. Rani tak bisa mencegah
kepergian Hamdan karena itu juga untuk kebaikan Hamdan dan keluarganya.
“Mas berjanji, hanya dua hari saja!” itulah kata-kata yang membuat Rani
terpaksa membolehkan Hamdan pergi.
Bunga dengan ikatan pita hitam terus membanjiri rumah keluarga Rani.
“Dari siapakah sebenarnya bunga itu?” Bu Warda mendesak tukang pos
tersebut, baru kali ini Bu Warda marah, sebelumnya Ibu dua anak ini
tidak pernah menampakkan kemarahannya di depan orang lain kecuali
keluarganya sendiri. Tukang Pos itu menjawab “Saya benar-benar tidak
tahu nama orang yang mengirimkan ini, jika anda mau saya akan mengantar
anda pada pengirim bunga ini!”. Rani yang ketika itu sedang termenung
dengan mata berkaca-kaca kemudian mendekati tukang pos itu. “Tolong
antarkan saya pada orang itu!” Rani memohon. Tukang pos itu merasa iba
melihat gadis cantik itu memohon penuh harap. “Mari!” tukang pos itu
membawa Rani ke tempat pengirim bunga tersebut.
“Di sana tempatnya!” kata tukang pos sambil menunjuk ke sebuah taman. “Di balik pohon besar itu ada tempat duduk, dia biasanya sering duduk-duduk di sana!”. Rani pun berjalan pelan menuju tempat yang ditunjukkan oleh tukang pos tersebut. Dari kejauhan tampak seorang lelaki sedang duduk sendirian di balik pohon itu. Rani terus berjalan penuh penasaran, hingga akhirnya sampailah ia tepat di belakang pemuda itu. “Siapa anda?” Tanya Rani. Pemuda itu terkejut ketika mendengar suara yang tak asing lagi baginya. “Rani!” Pemuda itu mencoba menebak. Rani kemudian menghampiri pemuda itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat wajah pemuda itu. Dugaannya selama ini memang benar. Anjar, cinta pertamanya yang mengirimkan semua itu padanya. “Apa kabar?” sapa Rani. “sedang apa kau kesini?” Tanya Anjar tanpa melihat Rani sedikitpun. “seharusnya aku yang bertanya demikian, sedang apa kau disini sendirian!” kata Rani. “Bukan urusanmu!” kata Anjar singkat. “kau kan yang mengirim bunga berpita hitam itu?” Tanya Rani. Anjar tak menghiraukannya. “Kenapa?” Tanya Rani. “Karena aku membencimu!” jawab Anjar dengan pandangan mata jauh ke depan.
“Di sana tempatnya!” kata tukang pos sambil menunjuk ke sebuah taman. “Di balik pohon besar itu ada tempat duduk, dia biasanya sering duduk-duduk di sana!”. Rani pun berjalan pelan menuju tempat yang ditunjukkan oleh tukang pos tersebut. Dari kejauhan tampak seorang lelaki sedang duduk sendirian di balik pohon itu. Rani terus berjalan penuh penasaran, hingga akhirnya sampailah ia tepat di belakang pemuda itu. “Siapa anda?” Tanya Rani. Pemuda itu terkejut ketika mendengar suara yang tak asing lagi baginya. “Rani!” Pemuda itu mencoba menebak. Rani kemudian menghampiri pemuda itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat wajah pemuda itu. Dugaannya selama ini memang benar. Anjar, cinta pertamanya yang mengirimkan semua itu padanya. “Apa kabar?” sapa Rani. “sedang apa kau kesini?” Tanya Anjar tanpa melihat Rani sedikitpun. “seharusnya aku yang bertanya demikian, sedang apa kau disini sendirian!” kata Rani. “Bukan urusanmu!” kata Anjar singkat. “kau kan yang mengirim bunga berpita hitam itu?” Tanya Rani. Anjar tak menghiraukannya. “Kenapa?” Tanya Rani. “Karena aku membencimu!” jawab Anjar dengan pandangan mata jauh ke depan.
Rani menghela napas kemudian duduk di samping Pemuda itu.
“Bertahun-tahun aku berusaha mencarimu, tapi apa? Setelah aku
menemukanmu, aku jadi tak ingin lagi bertemu denganmu lagi!” ungkap
Anjar. “Apa maksudmu? Bukankah kau yang meninggalkanku? Pergi tanpa
memberikan kabar sedikitpun, menggantungkan cintaku selama beberapa
tahun?” kata Rani. Anjar masih tetap tak mau melihat Rani yang ada di
sampingnya itu. “Aku tak seperti yang kau pikirkan! Sekian lama batinku
tersiksa karena aku tak melihatmu, tak mendengar suaramu!” Anjar pun
berdiri dari tempat duduknya. “Mau kemana?” Tanya Rani.
Anjar berjalan tertatih-tatih bagaikan tak tau arah. Tangannya
menggenggam seolah-olah ingin mematahkan sesuatu. Pandangannya tampak
seperti orang yang sedang melamun. Ketika berjalan ia pun terjatuh di
tanah. Rani segera menolongnya, Anjar pun menepiskan tangan Rani yang
berusaha menolong Anjar. “Lepaskan!” Anjar melanjutkan kembali
perjalanannya hingga sampailah ia pada jalan raya. Rani terus
mengikutinya dari belakang namun sama sekali anjar tak memerhatikan
Rani.
Anjar menyebrang jalan dengan pandangan kosong, seorang pengemudi
mobil membunyikan klakson agar Anjar tidak menyebrang ketika mobil
sedang melaju, Anjar tak menghiraukan hingga akhirnya ia hampir
tertabrak karena kecerobohannya. Pengemudi itu memarahi Anjar dan ia pun
mengabaikannya. Rani terkejut dan meminta maaf pada pengemudi itu.
“Kali lain kalau menyebrang itu dilihat donk!” Pengemudi mobil pun
segera meninggalkan mereka berdua. “Apa kau buta? Berjalan saja tidak
becus, meskipun sepi tapi ini tetap jalan raya!” Rani terlihat marah.
Anjar pun bergumam “Aku..!” wajahnya tampak pucat pasi. “Aku memang
buta!” kata Anjar. Mendengar kata-kata tersebut tubuh Rani lemas
seketika, ia bagaikan tersambar halilintar. Rani melambai-lambaikan
tangannya di depan wajah Anjar namun ekspresi Anjar tetap seperti orang
melamun.
Tak lama kemudian seseorang datang dan menjemput Anjar. Rani masih
diterpa ketidakpercayaan yang mendalam. Ia meminta kejelasan tentang
pacar pertamanya tersebut. Ternyata beberapa tahun yang lalu, ketika
Anjar berusaha kabur, sebuah kecelakaan terjadi sehingga membuatnya koma
begitu lama dan harus kehilangan pengelihatan. Ia tak tau ia berada di
mana dan dengan siapa. Semua data-data tentangnya lenyap dalam peristiwa
itu. Kata-kata yang ia ucapkan ketika kali pertama ia bangun dari
komanya adalah “R-a-n-i”.
Rani pun pulang dengan perasaan bersalah. Ia terlalu berburuk sangka
pada cinta pertamanya itu. Sementara itu, pernikahan antara Hamdan
dengan dirinya tinggal menghitung hari. “Apa yang telah aku perbuat?” ia
menangis seharian di kamarnya. “Aku tak tahu jika semua itu terjadi
padanya!” Rani kembali menangis. Berkali-kali HP Rani berdering namun ia
tak menjawabnya. “Hamdan” ternyata sepuluh panggilan tak terjawab ada
di layar HPnya. Rani sedang dalam dilema dan dihantui perasaan bersalah
yang begitu besar. Ia tak dapat membayangkan jika bertahun-tahun Anjar
berusaha mencarinya namun sekarang orang yang berusaha dicarinya telah
menjadi milik orang lain.
Sesuai dengan janji Hamdan. Dia benar-benar kembali ke Jawa dalam
waktu dua hari. Rani sama sekali tak mengangkat telepon darinya kemudian
ia menemui calon istrinya karena khawatir. “Ada apa denganmu?” Tanya
Hamdan. “Tidak ada apa-apa Mas, hanya sedikit kurang enak badan!” jawab
Rani. Hamdan kemudian meminta Rani untuk istirahat terlebih dahulu
karena sebentar lagi mereka akan menikah, jadi harus benar-benar menjaga
kondisi tubuh agar tidak sakit ketika hari pernikahan tiba. Rani pun
menuruti permintaan calon suaminya.
Satu hari sebelum hari pernikahan, Hamdan mencoba menutupi kegugupannya dengan berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya. Seseorang menghampirinya dan meminta waktu luang padanya. Ternyata itu adalah orang yang merawat Anjar selama ini. Orang tersebut menceritakan semuanya kepada Hamdan tentang kisah cinta Rani dan Anjar yang terpisah karena kekejaman takdir. Hamdan bertanya, mengapa orang tersebut menceritakan semua itu padanya. Walaupun begitu Hamdan juga tidak akan melepaskan gadis yang telah dicintainya itu. Orang tersebut berkata. “Aku hanya ingin kau mengerti, tak ada maksud apa pun!”.
Satu hari sebelum hari pernikahan, Hamdan mencoba menutupi kegugupannya dengan berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya. Seseorang menghampirinya dan meminta waktu luang padanya. Ternyata itu adalah orang yang merawat Anjar selama ini. Orang tersebut menceritakan semuanya kepada Hamdan tentang kisah cinta Rani dan Anjar yang terpisah karena kekejaman takdir. Hamdan bertanya, mengapa orang tersebut menceritakan semua itu padanya. Walaupun begitu Hamdan juga tidak akan melepaskan gadis yang telah dicintainya itu. Orang tersebut berkata. “Aku hanya ingin kau mengerti, tak ada maksud apa pun!”.
Hari pernikahan tiba. Semua keluarga mempelai terlihat sangat sibuk.
Rani tampak cantik menggunakan pakaian pengantin. Keluarga Rani dan
keluarga Hamdan sedang menunggu kedatangan mempelai pria untuk
melaksanakan akad nikah. “Mengapa nak Hamdan lama sekali?” Tanya
keluarga mempelai wanita. “Iya, Hamdan itu ada-ada saja, masak cincin
yang disini menjadi hal terpenting bisa sampai ketinggalan?” kata
keluarga mempelai pria.
Tak lama kemudian terdengar kabar bahwa pengantin pria mengalami
kecelakaan ketika sedang perjalanan menuju kediaman pengantin wanita.
Semua orang yang hadir di acara pernikahan pun terkejut. Rani yang masih
berada di kamar pengantin tidak mendengar kabar apa pun. Ibunya dengan
wajah pucat membuka pintu kamar pengantin. “Ibu, Sudahkah Hamdan
datang?” Tanya Rani. Ibunya menceritakan apa yang terjadi pada Hamdan,
mendengar hal tersebut, Rani langsung pingsan. “mengapa ini bisa
terjadi?” keluarga Hamdan dan kekuarga Rani segera pergi ke rumah sakit.
Ketika sampai disana “innalillahi wainna ilaihi rooji’un!” kata salah
satu keluarga Hamdan. Semua anggota keluaga menangis histeris. “Sudilah
kiranya keluarga yang ada di sini memaafkan semua kesalahan almarhum
Hamdan, semoga ia dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!” kata Ayah
Hamdan sembari meneteskan air matanya.
Beberapa Tahun kemudian. “Rani sayang, makan dulu nak, Ibu sudah
memasak ayam kesukaanmu!” sambil membuka pintu kamar Rani. Seketika Rani
bertanya “Sudahkah Hamdan datang?” begitulah yang ia katakan setiap
kali seseorang membuka pintu kamarnya, sambil menyisir rambutnya yang
kian hari kian menggimbal dan matanya yang sembab. Dan berteriak
histeris setiap melihat dirinya berada di dalam cermin. Rani Dwi Kumala
Sari, Sang bunga desa kini menjadi gadis keterbelakangan mental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar